Sehabis Mencintai, Aku Belajar Melepaskan
Chapter 5 : Dua Hati yang Berbisik
Kabut tipis bulan Mei menyelinap melalui jendela kaca patri perpustakaan, membentuk pola cahaya gemulai di atas meja kayu tua tempat mereka duduk berhadapan. Adi membolak-balik halaman buku catatan cognac-nya dengan gerakan gugup, sementara Rania menyelipkan helai rambut di telinganya yang memerah—kebiasaannya saat gelisah. Di antara mereka, ada dua cangkir teh chamomile yang sudah dingin dan sepotong kue lapis yang tak tersentuh.
"Aku..." Adi menghela napas, matanya menatap noda kopi berbentuk seperti benua Afrika di meja. "Tujuh tahun lalu, ayahku meninggalkan kami dengan utang sebesar rumah." Jarinya mengetuk-ngetuk sampul buku catatan yang sudah lapuk. "Ibuku bekerja tiga shift di pabrik tekstil sampai matanya rusak, sementara aku..." Ia tersenyum getir, "Aku menghabiskan masa SMAku di bengkel, belajar memperbaiki radio bekas untuk bayar uang sekolah."
Rania menarik napas dalam. Di balik bau kertas tua dan kayu lapuk, dia mencium aroma keringat asin Adi yang bercampur minyak mesin—parfum kemiskinan yang melekat di kulitnya. Tanpa berpikir, tangannya meraih tangan Adi yang bergetar, merasakan kapalan di telapaknya yang kasar namun hangat.
"Lihat ini," bisik Adi sambil membalik halaman buku catatannya. Terpampang sketsa pensil seorang wanita kurus dengan mata sayu. "Ibuku malam sebelum operasi katarak. Dia bilang takut tidak bisa lagi melihat wajahku." Suaranya pecah seperti piring kaca jatuh. Rania merasakan tetes air hangat di tangannya sebelum menyadari bahwa itu air mata Adi.
Angin malam berbisik melalui rak buku, membawa serta kenangan Rania sendiri. "Aku..." suaranya serak, "Aku sebenarnya diterima di jurusan seni lukis." Jantungnya berdebar kencang. "Tapi ayahku membakar semua kanvasku dan perlengkapan melukis di halaman belakang." Dia menatap jendela tempat bayangan dirinya yang buram terpantul. "Katanya pelukis itu pekerjaan pengemis."
Adi mengangkat wajahnya, mata merahnya bertemu dengan mata Rania yang berkaca-kaca. Di antara mereka kini tergantung sebuah benang tak kasat mata yang terbuat dari air mata dan pengakuan. "Kau masih melukis?" tanyanya pelan. Rania mengangguk, membuka tas kulitnya yang usang. Dari balik buku-buku teks, dia mengeluarkan sebuah sketchbook kecil berisi gambar-gambar tinta.
Halaman demi halaman dipenuhi wajah Adi—Adi yang sedang membetulkan kacamata, Adi dengan alis berkerut saat membaca, bahkan sketsa detail tangan kirinya yang selalu mengetuk-ketuk meja saat berpikir. "Kau..." Adi tersedak, jarinya menelusuri garis-garis gambar seperti menyentuh relik suci. "Kau menggamarku lebih baik daripada aku sendiri."
Lonceng kampus berbunyi tiga kali tanda jam sembilan malam. Di kejauhan, dengung kota besar mengapit perpustakaan yang semakin sepi. Rania menggigil; tanpa berkata, Adi melepas jaket denimnya yang sudah pudar warnanya dan menyampirkannya di bahu Rania. Jaket itu masih menyimpan kehangatan tubuhnya dan bau solar yang akrab.
"Aku takut," bisik Rania tiba-tiba, suaranya kecil seperti anak kecil. "Takut menjadi seperti ayahku—keras, pahit, menusuk orang dengan kata-kata. Terkadang aku merasa kemarahannya mengalir dalam darahku." Tangannya menggenggam erat jaket Adi.
Adi memiringkan kepalanya, cahaya lampu tembaga menyinari profilnya yang tegas namun lembut. "Kau tahu kenapa aku selalu datang ke perpustakaan ini?" Rania menggeleng. "Karena di sini, suaramu saat membacakan puisi itu bagai hujan pertama setelah kemarau panjang." Tangannya yang kapalan menyentuh pipi Rania dengan gentleness yang tak terduga. "Aku percaya kau bisa melukis ulang takdirmu sendiri."
Di luar, gerimis mulai turun membasahi jendela. Dalam keheningan yang nyaman, mereka berbagi cerita-cerita yang selama ini menggerogoti hati—tentang malam-malam tanpa tidur, tentang kata-kata yang lebih tajam dari pisau, tentang mimpi-mimpi yang dipendam dalam-dalam. Setiap pengakuan seperti melepaskan beban, setiap air mata yang tumpah membersihkan luka lama.
Saat lampu perpustakaan mulai diredupkan sebagai tanda tutup, mereka menemukan diri mereka duduk semakin dekat, bahu bersentuhan, jari-jari saling bertautan seperti akar yang mencari kehangatan. Di buku catatan Adi yang terbuka, ada tulisan baru: "Hari ini aku belajar bahwa kelemahan yang kita bagi, bisa menjadi jembatan menuju kekuatan bersama." Dan di sketchbook Rania, sebuah gambar baru muncul—dua sosok bayangan di bawah payung hujan, membawa semua luka dan harapan mereka, berjalan menuju cahaya bulan yang menyembunyikan bintang-bintang.


Si Bodoh yang Jenius
Jojo, cowok pintar yang sombong, awalnya menertawakan Maria, siswi baru cantik keturunan Chinese yang bodoh dalam pelajaran. Namun setelah dipasangkan untuk belajar bersama, Jojo perlahan kagum dengan kerja keras Maria. Maria yang dulunya selalu gagal, kini semakin berkembang berkat bimbingan Jojo. Senyuman dan semangat Maria membuat hati Jojo goyah. Semakin lama, Maria tidak hanya belajar dengan baik, tapi juga menanjak pesat hingga membuat Jojo terancam. Dari hubungan guru–murid kecil-kecilan, hubungan mereka berkembang menjadi persahabatan hangat yang penuh ketegangan batin karena persaingan.
read more
Lolongan Terakhir di Hutan Kelam
Di sebuah desa terpencil dekat hutan, serangkaian kematian brutal terjadi. Hewan ternak dan manusia ditemukan tewas dengan tubuh tercabik. Arman, seorang pemuda desa, mulai menemukan bahwa keluarganya terikat kutukan manusia serigala. Saat ayahnya berubah menjadi monster, rahasia kelam keluarga terkuak. Arman harus melawan bukan hanya ayahnya, tapi juga roh serigala purba yang berusaha mengambil alih tubuhnya. Dengan pisau bulan, ia berusaha menghentikan kutukan, namun setiap langkah justru menyeretnya semakin dalam ke dalam kegelapan.
read more
Sehabis Mencintai, Aku Belajar Melepaskan
Kisah Rania bermula dari cinta yang begitu dalam, namun meninggalkan luka yang menghancurkan. Ia berusaha bangkit di tengah kebingungan, dihadapkan pada pilihan antara Adi—cinta lama yang kembali meminta kesempatan—dan Damar, sahabat yang tulus namun diam-diam mencintainya. Di perjalanan, Rania menemukan bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan pada kenangan, tapi juga berani membuka pintu baru. Apakah Rania akan memilih cinta yang pernah menyakitinya, atau cinta baru yang penuh ketenangan?
read more
Primadona Mengejar Pecundang
Dita, primadona dan peringkat pertama SMA Permata Kasih, awalnya menganggap Zeno sebagai siswa bodoh tak berguna. Namun saat melihat keteguhan dan potensi tersembunyi Zeno, ia justru berbalik jatuh hati dan bertekad membimbingnya. Tak disangka, Zeno bukan hanya menyusulnya, tapi mengalahkannya—baik dalam pelajaran, maupun dalam permainan perasaan......
read more